Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan serius: krisis moral dan degradasi karakter di kalangan generasi muda. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya perilaku intoleran, penyebaran hoaks, perundungan digital, hingga menurunnya semangat belajar dan empati sosial. Semua ini menjadi refleksi penting bagi dunia pendidikan, terutama pendidikan Islam, untuk melakukan transformasi yang menyentuh hati dan akal.
Pendidikan yang Sekadar Transfer Pengetahuan Tidak Cukup
Banyak lembaga pendidikan hari ini hanya fokus pada capaian akademik tanpa memperhatikan dimensi spiritual dan karakter. Padahal, nilai-nilai moral dan iman merupakan fondasi untuk membentuk manusia yang beradab. Inilah tugas utama lembaga tarbiyah Islam, seperti STIT Babussalam Aceh Tenggara: menyatukan ilmu, iman, dan akhlak dalam setiap proses pembelajaran.
Bagi calon pendidik, pendidikan bukan hanya soal mengajar, tetapi juga mendidik dengan hati. Mereka harus mampu menjadi teladan dalam kesabaran, tanggung jawab, dan kejujuran—nilai-nilai yang kini semakin langka di tengah budaya instan dan pencitraan.
Literasi Digital: Antara Peluang dan Tantangan
Di satu sisi, kemajuan teknologi memberi peluang besar untuk memperkaya pembelajaran digital. Namun di sisi lain, literasi digital yang rendah justru membuka ruang bagi penyalahgunaan internet, penyebaran fitnah, dan konsumsi konten negatif. Oleh karena itu, pendidikan tarbiyah Islam harus adaptif terhadap teknologi, tetapi tetap menjadikan Al-Qur’an dan akhlak Rasul sebagai kompas moral.
STIT Babussalam memandang teknologi bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai alat dakwah dan pembelajaran. Melalui pendekatan digital literacy berbasis nilai Islam, mahasiswa diarahkan untuk menggunakan teknologi secara produktif dan etis—menghadirkan cahaya Islam dalam ruang maya.
Peran Kampus Islam sebagai “Gerbang Kedamaian”
Sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, STIT Babussalam Aceh Tenggara mengambil peran penting dalam membangun generasi pendidik yang berilmu, beradab, dan berjiwa damai. Melalui integrasi antara teori, praktik, dan spiritualitas, mahasiswa dibentuk menjadi pendidik profesional yang peka terhadap permasalahan sosial di sekitarnya.
Dalam konteks hari ini, pendidikan Islam tidak hanya berfungsi mencetak guru, tetapi juga agen perubahan sosial—yang menebarkan nilai keadilan, toleransi, dan kedamaian di tengah masyarakat plural.
Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara moral dan spiritual. STIT Babussalam Aceh Tenggara hadir untuk menjawab tantangan itu—mendidik generasi yang membawa ilmu sebagai cahaya dan iman sebagai penuntun peradaban.


Leave a Reply