Fenomena Hijrah Digital: Menggali Identitas Keislaman Generasi Milenial di Era Media Sosial

·

·

Dalam satu dekade terakhir, kata “hijrah” telah bertransformasi menjadi sebuah gerakan sosial dan budaya yang masif di kalangan anak muda Indonesia, khususnya Generasi Milenial dan Gen Z. Namun, panggung utama dari gerakan spiritual ini bukanlah masjid atau pesantren tradisional, melainkan layar smartphone dan lini masa media sosial.

Inilah yang kita sebut sebagai Fenomena Hijrah Digital.

Media sosial—mulai dari Instagram, YouTube, hingga TikTok—kini berperan sebagai madrasah tanpa dinding, tempat di mana puluhan juta anak muda mendapatkan siraman rohani, mencari panutan ustaz atau ustazah, hingga membentuk citra diri baru yang lebih Islami. Pertanyaannya, dalam pusaran algoritma yang serba cepat, apakah identitas keislaman yang terbentuk adalah identitas yang kokoh dan mendalam, atau hanya sekadar tampilan digital yang rentan terhadap trend?

  1. Kekuatan dan Daya Tarik Pesan Instan (Instant Piety)
    Media digital menawarkan akses yang tidak tertandingi:

Aksesibilitas Tanpa Batas: Seseorang bisa belajar Fiqh, Aqidah, atau Tafsir dari ustaz mana pun di seluruh dunia hanya dengan satu kali klik. Ini mematahkan sekat geografis dan waktu.

Konten yang Menarik (Visual Piety): Berbeda dengan majelis taklim konvensional, konten hijrah digital dikemas dalam format yang estetis, cepat, dan relatable—mulai dari video ceramah berdurasi 60 detik, infografis Hadis, hingga vlog kisah inspiratif.

Koneksi Emosional: Banyak influencer hijrah yang menggunakan bahasa sehari-hari dan berbagi pengalaman pribadi, menciptakan kedekatan emosional yang sulit ditiru oleh mimbar tradisional.

Namun, daya tarik ini menyimpan mata pisau bermata dua. Kemudahan akses seringkali berujung pada “Instant Piety” atau kesalehan instan, yaitu pengetahuan agama yang didapat secara sepotong-sepotong dan tidak melalui jalur sanad atau kontekstualisasi yang memadai.

  1. Tantangan Identitas: Antara Kesalehan dan ‘Performance’
    STIT Babussalam, sebagai lembaga pendidikan Islam, perlu memahami dua tantangan utama yang dihadapi oleh generasi hijrah digital:

A. Kesalehan yang Terlihat (The Performance of Piety)
Media sosial adalah panggung. Dalam konteks hijrah digital, ini memunculkan kecenderungan untuk memamerkan amalan dan penampilan. Identitas keislaman diukur dari sejauh mana penampilan fisik (pakaian syar’i, foto di depan Ka’bah, atau caption penuh kutipan bijak) ditampilkan secara publik.

Jika niat utama posting adalah untuk mendapatkan pujian (likes atau followers), hal ini berisiko mengikis keikhlasan (bertentangan dengan konsep riya’). Anak muda perlu dibimbing agar membedakan antara kesalehan personal yang berorientasi pada Tuhan dengan kesalehan performatif yang berorientasi pada validasi publik.

B. Polarisasi dan Echo Chamber
Algoritma media sosial dirancang untuk menyajikan apa yang kita sukai, menciptakan echo chamber (ruang gema) ideologi. Dalam konteks agama, ini dapat memperkuat pemahaman yang tunggal dan menghilangkan toleransi terhadap perbedaan pendapat (khilafiyah).

Seseorang yang terpapar pada satu mazhab atau satu pandangan ustaz secara terus-menerus akan cenderung menjadi rigid dan menganggap pandangan lain sebagai “sesat” atau “salah”—sebuah sikap yang bertentangan dengan semangat moderasi beragama (wasathiyyah Islam) yang dianut oleh mayoritas institusi pendidikan di Indonesia.

  1. Peran Strategis STIT Babussalam: Mendidik Mualim yang Melek Digital
    Lembaga pendidikan Islam seperti STIT Babussalam tidak boleh alergi terhadap fenomena hijrah digital. Justru, inilah medan dakwah dan pendidikan yang baru.

STIT Babussalam memiliki peran kunci:

Membentuk Guru PAI yang Kritis: Lulusan program Tarbiyah harus dibekali kemampuan untuk mengajar literasi digital dan agama secara bersamaan. Mereka harus mampu membimbing peserta didik untuk memfilter sumber informasi agama di internet dan mengajarkan cara kontekstualisasi teks suci dengan realitas modern.

Menjadi Produsen Konten Moderat: STIT Babussalam perlu menggalakkan dosen dan mahasiswanya untuk menjadi content creator yang menyebarkan narasi Islam yang rahmatan lil alamin, humanis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, menandingi konten-konten yang cenderung eksklusif atau radikal.

Memadukan Sanad dan Screen: Pendidikan di kampus harus menjembatani gap antara tradisi keilmuan (sanad guru yang jelas) dengan teknologi (screen). Mahasiswa diajarkan metodologi ilmiah dalam studi Islam agar mereka tidak mudah terombang-ambing oleh fatwa instan di dunia maya.

Penutup: Hijrah Sejati Adalah Perjalanan Akal dan Hati
Fenomena Hijrah Digital adalah sebuah keniscayaan. Ia adalah sarana dakwah terkuat di abad ke-21. Namun, kesalehan sejati tidak diukur dari jumlah followers atau estetika feed Instagram.

STIT Babussalam hadir untuk memastikan bahwa generasi milenial dan Gen Z yang sedang berhijrah digital tidak berhenti pada kulit luar. Kampus adalah tempat untuk menempa akal agar kritis, hati agar ikhlas, dan ilmu agar bermanfaat—sehingga perjalanan “hijrah” mereka, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, menjadi perjalanan spiritual yang autentik dan membawa kedamaian bagi semesta.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *